Filsafat · kuliah · psikologi · Sufi

Psikoterapi Sufi

Selama berabad-abad, berbagai praktisi telah mempelajari sufi dari ahlinya dan menerapkan pelajaran yang telah didapat untuk meningkatkan kondisi fisik, mental, dan emosional pasien atau klien. Begitu pula yang dilakukan oleh psikoterapis sufi di Amerika. Mereka belajar dari ahli sekaligus pendiri Sekolah Sufisme Islam pada tahun 1979, Nader Angha (http://sufipsychology.org/ page_aboutSPA.htm). Berkembangnya ilmu Sufi di Amerika untuk dijadikan psikoterapi didasari oleh perkembangan berbagai psikoterapi sebelumnya yang menekankan pada aspek transpersonal dan spiritual.

Psikoterapi sufi menekankan pada proses holistik dan terinci yang memungkinkan seseorang untuk memahami struktur dari diri, jiwa dan hubungan jiwa itu dengan Tuhan atau inti diri yang sempurna. Inti diri yang sempurna ini tidak terlihat karena adanya batasan persepsi dan identifikasi dengan ego atau diri yang salah (false self). Selain itu, psikoterapi sufi juga menekankan pada tujuan, potensi, dan arti kehidupan (Bonnin, 2007).

Prinsip psikoterapi sufi berbeda dengan psikoterapi psikologi pada umumnya dimana psikoterapi psikologi memiliki batasan karena tidak dapat menyatakan hubungan spiritual dalam sebuah perjalanan hidup. Dengan kata lain, psikoterapi psikologi hanya menyatakan sebagian dari keseluruhan. Selain itu, pengetahuan dari psikoterapi psikologi hanya bisa didapat dari informasi yang diindrai, sedangkan psikoterapi sufi dapat menerima pengetahuan yang langsung berasal dari Yang Maha Mengetahui (http://www.australiansuficentre.org/sufipsych.htm)

Matchette (dalam Granick, 2004) menyatakan bahwa psikopatologi dalam sufi diterjemahkan sebagai adanya pemisahan sempurna dengan Yang Maha Kuasa. Hal ini juga dapat pahami sebagai ketidaksadaran tentang identitas seseorang yang sebenarnya. Tanpa kesadaran ini, semua ide tentang diri hanya konstruk subjektif tanpa melihat kenyataan. Oleh karena itu, psikoterapis sufi mencoba membantu seseorang untuk mengingat diri yang sebenarnya dan menyadari hubungan diri dengan Yang Maha Kuasa. Lebih lanjut, titik tekan psikoterapis sufi akan dijelaskan sebagai berikut (http://sufipsychology.org/page_sufiPsychotherapy. htm, 2008):

  1. Menemukan Identitas

Selama ini identitas kita selalu dibentuk berdasarkan identitas objek, peran, profesi, standar sosial dan norma, dan lain-lain. Konstruk mental ini menjadi ego dan identitas kita sehari-hari yang disebut sebagai “aku”. Tujuan yang dibentuk dari lingkungan eksternal mengasingkan diri kita dari identitas atau diri yang sebenarnya, “AKU”, yaitu hubungan diri kita dengan diri yang sebenarnya. Kita terbiasa hidup dengan bersandiwara dan menjadi tidak peduli dengan kenyataan dan keajaiban hidup. Kita terbiasa hidup dalam mimpi dan imajinasi masa depan serta kesedihan dan penyesalan masa lalu.

  1. Hubungan yang Terputus

Kurangnya kesadaran diri dan adanya pengalaman berpisah dengan diri yang sebenarnya, membuat kita mengalami perpisahan, ketidakmampuan, dan perasaan terjebak. Kita percaya bahwa kita tidak memiliki hal yang kita butuhkan sehingga kita membutuhkan hal-hal dari dunia eksternal kita. Kita mendekati dunia sebagai korban, peminta-minta, manipulator, diktator, dan agresor. Selain itu, dapat muncul juga ketergantungan, depresi, kecemasan, kurangnya kepercayaan diri, gangguan yang berhubungan dengan stres dan gangguan mental yang lain. Pada terapi, simtom yang muncul pada klien adalah tanda disonansi antara dunia internal dan eksternal.

Psikoterapi sufi membantu klien untuk memahami bahwa mereka secara tidak sadar membuat penyakit dan penderitaan itu sendiri. Tidak ada rencana yang lebih baik yang menentukan penderitaan dan ketidakpuasan kita, melainkan semua pemikiran dan perilaku selama jangka waktu itu membuat kita berada di tempat kita saat ini. Psikoterapi sufi mengarahkan klien untuk melihat kebijaksanaan dalam diri dan membantu klien untuk mencari jawabannya di dalam diri daripada keluar diri. Selain itu, klien juga diminta untuk menyambung kembali hubungan dengan Sumber Kehidupan.

  1. “AKU”

Ketika hubungan diri dengan Yang Maha Kuasa terputus, maka kita akan merasa sendiri dan goyah. Penyembuhan akan terjadi secara alamiah ketika kita memiliki hubungan dengan diri yang sebenarnya atau menjadi “AKU”. Hubungan inilah yang menjadi tujuan dari psikoterapi sufi. Kebalikan dengan beberapa psikoterapi yang melakukan identifikasi berdasar masalah dan kekurangan, psikoterapi sufi menyediakan pandangan yang lebih besar dan menguatkan dengan mengingatkan mereka dengan potensi yang tak terbatas, identitas yang sebenarnya, kekuatan dan sumber dari dalam diri.

Elemen pendekatan sufi terhadap psikoterapi dapat dilihat dari prinsip dan strategi berikut (Douglas-Klotz, 2002):

–         Mulai mengubah permasalahan yang ada dalam tujuan yang sederhana, seperti mengenali berbagai perbedaan perasaan atau tanda-tanda dalam tubuh.

–         Klien didukung untuk membedakan perasaan ini dengan berbagai metode yang berbeda, dimana ia akan menyesuaikan kekuatan-kekuatannya (sebagai awalan) dan kelemahan-kelemahannya (sebagai yang kedua).

–         Intervensi yang dilakukan termasuk meningkatkan sensitivitas terhadap elemen dan pusat kesadaran dalam tubuh, terutama mengenai hati.

–         Tujuan terapeutik dari klien adalah menemukan tujuan dalam hidup sebagai sebagai proses dari kekuatan dalam diri yang memusatkan pada masa depan sebagai motif kuat dalam hidup. Penemuan kekuatan ini di mulai dengan menjernihkan semua rasa dalam tubuh yang mengganggu. Perkembangan lebih jauh akan memusatkan kepada hati spiritual.

–         Setelah itu, tujuan beralih pada kesadaran adanya pilihan-pilihan yang sehat untuk memiliki hubungan dengan diri dan orang lain. Hal ini diperluas pula untuk aspek dalam keberadaan diri dan jiwanya. Pengujian pertama dilakukan dengan terapis, yaitu dalam hubungan terapeutik. Kemudian diperluas pada lingkungan klien yang lebih luas dan akhirnya dalam dunia secara keseluruhan , baik manusia maupun alam.

–         Kesadaran hati dari klien diuji oleh kemampuannya untuk memberikan dukungan dan cinta bagi diri dan orang lain. Seseorang yang telah merasakan pencerahan berarti telah mengalami tingkat penyerahan diri dan memberikan pelayanan total kepada Yang Maha Kuasa. Hati berada dalam tahap yang “terluka” jika berhadapan dengan batasan diri dan konsep diri. Hati akan menemukan kembali dirinya setelah menjadi bagian dengan hati Yang Maha Kuasa. Pada saat inilah, diri setiap saat selalu ingat dan berdoa kepada Yang Maha Kuasa.

Adapun beberapa kelebihan dari psikoterapi sufi adalah berdasarkan pada ajaran Islam, yaitu Al-Quran dan Al-Hadits, namun penerapannya dapat dilakukan terhadap berbagai orang dengan latar belakang agama yang berbeda. Selain itu, meski lama terapi tergantung dari klien itu sendiri, penggunaan psikoterapi sufi dapat mempercepat proses penyembuhan. Klien dapat lebih cepat menyelesaikan permasalahannya, terapi yang membutuhkan beberapa tahun dapat diselesaikan dalam setahun dan terapi yang tadinya membutuhkan waktu setahun dapat diselesaikan dalam beberapa bulan (Rose, 2009).

Sedangkan kesulitan dalam menerapkan psikoterapi ini adalah pekerjaan psikoterapis tidak berhenti di sesi terapi, tetapi juga dilakukan di luar sesi terapi. Misalnya, terapis harus menerapkan sufisme dalam kehidupannya sehari-hari salah satunya dengan cara melakukan meditasi atau berdoa untuk menemukan pencerahan. Terapis sufi harus mendengarkan klien dengan hati dan hal ini tidak dapat dicapai terapi biasa (Granick, 2004). Hal yang sama harus dilakukan pula oleh klien dalam kehidupan sehari-hari.

 

Referensi:

Bonnin, F. N. (2007). The Relevance of Sufism and Psychology. The Australian Psychological Society. Diakses dari: http://www.groups.psychology.org.au/ Assets/Files/the_relevance_of_sufism_and_psychology.pdf tanggal 10 Mei 2009.

Granick, J. L. 2004. Toward a Sufism Psychotherapy. International Association of Sufism. Diakses dari: http://ias.org/spf/applied.html tanggal 10 Mei 2009.

Rose, E. (2009). Welcome to Sufi Spiritual Healing. California: Sufi Spiritual Healing. Diakses dari: http://ihsanelizabethrose.spaces.live.com/ tanggal 10 Mei 2009.

Tugas Mata Kuliah Filsafat tentang Posmodern, Psikoterapi dan Sufi oleh Sarwendah Indrarani, 2009.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.