anak · keluarga · kuliah · menikah · psikologi · saya

Kuliah dan menikah…

Kata siapa, “enggak boleh kuliah sambil nikah?”

Kata siapa, “enggak boleh kuliah sambil nikah, sambil hamil trus punya anak pula?

Kata siapa, “enggak boleh nikah sebelum selesai kuliah, belum kerja lagi“?

Jadi, kata siapa?

Saya sempat mendapatkan berbagai pertanyaan tersebut ketika mau menikah. Saya memang memutuskan untuk menikah ketika masih kuliah S2 Profesi Psikologi dimana saya “digempur” dengan berbagai tugas dan kuliah setiap hari. Bahkan hari Sabtu dan Minggu, saya masih harus mengerjakan tugas-tugas kuliah hari sebelumnya. Pada saat itulah, saya memilih untuk menikah.

Jika saya kuliah S2 full-time sambil menikah, suami saya tidak kalah sibuknya dengan saya. Pada saat itu, suami saya masih kuliah S2 dan masih punya amanah organisasi. Suami saya juga belum memiliki pekerjaan tetap. Kami nekat? Ya, bisa dibilang begitu.

Kami menikah karena percaya janji Allah SWT:

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberianNya) dan Maha Mengetahui.”
(QS. An Nuur (24) : 32)

Toh buktinya Allah SWT tidak pernah ingkar janji.. Memang tidak mudah. Ada hambatan dan tantangan yang perlu dilalui. Ada konflik yang perlu dilewati, tetapi pada akhirnya (Alhamdulillah) kami masih hidup dan bertahan hingga sekarang. Bahkan bisa dibilang, kami hidup dengan sangat berkecukupan. Kami mendapatkan rejeki yang tidak disangka-sangka. Maha Besar Allah dengan segala firmannya…

Pernikahan saya sebenarnya tidak mengganggu perkuliahan. Saya dan suami seringkali hanya bisa bertemu pada akhir pekan karena kesibukan masing-masing. Suami saya juga bukan orang dengan tipe minta dilayani, bahkan mau membantu untuk mengerjakan pekerjaan rumah kalau saya sedang sibuk. Pernikahan saya malah bisa dibilang mendukung perkuliahan saya. Kalau saya malas atau capek, ada yang mau mengingatkan atau sekedar menjadi tempat curhat. Jadi, menurut saya, menikah tidak mengganggu pernikahan.

Di pertengahan masa kuliah, saya diberi kepercayaan untuk hamil dan melahirkan. Saat itu, saya masih mengerjakan beberapa kasus yang belum selesai dan belum memulai mengerjakan tesis. Apa kehamilan saya mengganggu kuliah saya? Jawaban saya: tidak mengganggu, tetapi memang menghambat. Saya perlu menambah satu semester karena sempat mengalami morning sickness selama 4 bulan awal dan melahirkan sebelum menyelesaikan tesis.

Saya mengalami waktu-waktu yang berat, waktu dimana ingin menyerah dan merasa tidak sanggup lagi meneruskan kuliah. Akan tetapi, saya kembali bersemangat karena banyaknya dukungan dari dosen, teman, keluarga, dan tentu saja suami. Saya masih ingat membawa berbagai buku dan berjalan ke kampus dengan perut membesar ketika siang hari. Benar-benar perjuangan untuk selesai kuliah! Toh pada akhirnya, saya selesai kuliah juga diiringi dengan banyak berdoa. Jadi, siapa yang melarang hamil dan punya anak sebelum selesai kuliah?

“Memang tidak mudah, tetapi bisa dilakukan.” Itu kata seorang dosen saya…

Kuliah sambil menikah, hamil, dan punya anak tentu sangat bisa dilakukan. Akan tetapi dengan beberapa kondisi berikut:

1. Tentukan prioritas.

Ketika awal kehamilan, saya memprioritaskan kehamilan saya. Saya ingin anak yang sehat, tentunya saya perlu menjaga diri sejak awal kehamilan.  Ketika janin sudah cukup kuat dan bisa kompromi dengan kegiatan, saya mulai memprioritaskan kuliah.

2. Fokus.

Jika sudah memprioritaskan sesuatu, tetaplah fokus untuk menyelesaikan hal tersebut. Misalnya, saya sudah mengerjakan tesis, maka saya fokus untuk mengerjakan hal tersebut. Saya ingin cepat menyelesaikan sebelum saya bertambah malas.

3. Dukungan keluarga.

Saya dan suami belum memiliki pekerjaan ketika menikah, bagaimana kami bisa bertahan? Tentu dengan dukungan keluarga. Alhamdulillah, kami mendapatkan dukungan penuh dari keluarga. Ketika saya sudah melahirkan, saya tinggal di rumah orang tua. Saya perlu bolak-balik Serang-Depok dan menitipkan anak pada orang tua atau mertua. Kami tidak dapat menjalani semua dengan lancar jika tidak ada dukungan keluarga.

Menurut saya pribadi, orang lain juga bisa melakukan hal yang sama dengan saya. Akan tetapi, kembali pada kenekatan, niat, keinginan, kemauan pada orang tersebut.

Sekali lagi…

“Kuliah sambil menikah, tanpa kerjaan, hamil, punya anak… memang tidak mudah, tapi bisa dilakukan.”

One thought on “Kuliah dan menikah…

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.